Ket.Gambar : Bupati Gowa, H.Ichsan Yasin Limpo ketika melakukan pemantauan Ujian Akhir Nasional tingkat SMA/SMK beberapa waktu lalu.

Sembilan Guru Besar Merekomendasikan Jadi Program Nasional

[GOWA] Program kelas tuntas berkelanjutan adalah sebuah gagasan baru dalam sistem pendidikan wajib belajar sembilan tahun yang mulai diterapkan pada tahun ajaran baru ini di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) Program tersebut muncul dari pemikiran H Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa, menarik perhatian para pendidik dan guru besar karena dianggap aneh sebab menantang paradigma pendidikan nasional dengan mengubah pola yang sudah baku.

Ichsan meluruskan bahwa ide kelas tuntas berkelanjutan yang diterapkannya sama sekali tidak bertentangan dengan paradigma pendidikan nasional. “Gowa tidak akan keluar dari paradigma pendidikan nasional. Tapi Pemkab Gowa hanya menawarkan sebuah referensi agar ke depan pendidikan jauh lebih baik. Kelas tuntas ini merupakan automatic promotion dan di sini Pemkab bersinergi dengan negara-negara yang sudah menerapkannya seperti di Jepang, Finlandia, Korea Selatan,” katanya baru-baru ini..

Sembilan guru besar dari berbagai perguruan tinggi pun tertarik untuk mengkaji dasar pemikiran dan parameter yang digunakan bupati tersebut, mereka berkunjung khusus ke Gowa dan melakukan sharing dengan Ichsan, diantaranya Prof Dr Bambang Soepeno, MPd (Konsultan Bank Dunia Kementerian Pendidikan RI), Prof Dr Aris Munandar, Rektor Universitas Negeri Makassar, Prof Dr H Abdorahman Ginting S, PhD (Konsultan Program Bermutu Kementerian Pendidikan RI), Prof Dr Muh Jufri, S.PSi, MSi (Psikolog Anak Univ Negeri Makassar).

Ide Kelas Tuntas

Ichsan mengatakan, ide ini diawali dengan melihat angka nasional wajib belajar yang bersekolah hanya sampai tingkat SD 57,34 persen,  padahal sudah diamanatkan dalam konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, namun kenyataannya sekitar 20 persen putus sekolah dan hanya sekitar 30 persen yang lulus dan punya ijazah. “Ini memprihatinkan sebab akan menjadi beban negara dalam penyiapan sumber daya manusia (SDM) dan menjadi ancaman kerawanan sosial,” jelasnya.

Mantan anggota DPRD Sulsel dua periode ini tak sepaham dengan beban aturan sekolah yang berlaku, seperti ujian semester, ujian akhir dan risiko tinggal kelas sebab menjadikan anak didik tak bisa menikmati belajar sembilan tahun.

Menurutnya, program kelas tuntas punya parameter, minimal 80 persen kehadiran di sekolah dalam setahun, kalau sampai 80 persen, tidak ada alasan anak itu tinggal kelas. Sebenarnya, kata dia, tidak ada anak yang bodoh, rata-rata memiliki potensi. Memang, ada yang dikatakan IQ-nya tinggi, ada juga rendah, namun anak didik memiliki standar IQ. Dalam kondisi ini guru sangat menentukan, apakah mereka telah berfungsi dengan benar menjadi guru sejati. Jika ada anak yang lamban menyerap pelajaran, guru harus intropeksi diri, mungkin bahasa penerapannya terlalu tinggi, cara mengajar yang monoton atau tak mampu menciptakan suasana belajar yang menggairahkan bagi anak.

Bupati yang memasuki jabatan dua periode ini juga tidak setuju dengan adanya perankingan dan itu harus dihilangkan, tidak perlu lagi ada kelas istimewa, misalnya yang pandai disatukan di kelas tertentu, ini namanya pengkotak-kotakan dan membawa beban psikologis terhadap anak. “Kalau dalam satu kelompok ada dua tiga anak yang cerdas bergabung dengan yang lainnya, mereka akan lebih nyaman belajar karena dapat saling membantu dan tidak ada yang merasa dianggap “bodoh” terus lalu diasingkan ke kelas tertentu, guru yang mengajar pun merasa senang dan termotivasi,” ucapnya seraya menantang pendidik untuk membidik pola pendidikan berkelanjutan yang tidak hanya sampai pada tingkatan wajib belajar sembilan tahun namun hingga ke tingkat atas dengan terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama.

Standar Operasional

Setelah mendengar penjelasan dan membedah pemikiran Ichsan Yasin Limpo, sejumlah guru besar yang bertemu Ichsan, belum lam ini menyatakan takjub lantaran terobosan tersebut lahir dari seorang pejabat pemerintahan dan bukan berasal dari ahli pendidikan, mereka pun sepakat akan merekomendasikan kelas tuntas berkelanjutan menjadi program nasional, sebab diyakini sebagai sebuah proses perbaikan pendidikan ke depan.

Bambang Soepeno, guru besar Universitas Jember yang juga dari Kementerian Pendidikan RI menyatakan, sistem ini perlu didukung  dengan regulasi sistem pembelajaran, baik terhadap anak didik, terlebih terhadap gurunya dan perlu dibuatkan standar operasional agar bisa jadi model nasional.

“Kita bisa rekomendasikan sistem ini jadi program nasional dan saya juga punya gagasan agar anak perlu diberi pengayaan wawasan. Kenali potensi anak dengan berupaya membiasakan menyusun rencana pembelajaran dengan lingkungan anak itu sehingga anak tidak jenuh di kelas. Anak bisa diajak ke puskesmas, melihat sawah atau pasar agar anak lebih memahami kondisi di luaran (belajar terapan lingkungan),” kata Bambang yang salut lantaran terobosan semacam ini lahir dari seorang pejabat pemerintahan bukan dari seorang pendidik.

H Abdorahman Ginting S, Konsultan Program Bermutu Kementerian Pendidikan RI menganggap ide ini sebagai sebuah koreksi dalam dunia pendidikan, cara anak-anak mendapatkan pendidikan selama ini memang kurang tepat. Jadi inspirasi H Ichsan Yasin Limpo perlu didukung dan pantas dijadikan koreksi bagi dunia pendidikan.

Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), Aris Munandar menilai, anak-anak sangat perlu  memiliki frame kesiapan belajar mulai dari tingkat SD menuju bangku SMP lalu ke SMA. “Ini sangat penting, karena itu saya sangat merespon ide sistem kelas tuntas yang dicetuskan Bupati Gowa ini,” katanya.

H Said Hamid Hasan  dari Universitas Pendidikan Indonesia mengakui ide tersebut  sangat baik untuk menjadi terapan prinsip-prinsip pendidikan, sebab selama ini ada kesan anak-anak didik kita dipacu pelajari semua mata pelajaran sehingga belajarnya dipacu kayak kuda. Sistem kelas tuntas melalui pendidikan wajib belajar sembilan tahun ini sebagai upaya perbaikan pendidikan dan saya rasa bisa menjadi contoh yang baik.

Muh Jufri, Psikolog Anak UNM menyebut sistem ini akan semakin mendorong anak untuk berkompetisi secara sehat. Anak didik pun akan datang  ke sekolah dengan rasa semangat dan penuh kenyamanan. Ketika gurunya tidak datang, maka anak didik yang mencari gurunya. “Ke depan, sistem ini akan memicu sinergitas guru dan profesionalisme guru untuk membudayakan tehnik-tehnik ramah pada anak. Jadi peran guru menjadi lebih besar dan program ini cukup progresif mengiringi perkembangan anak,” ujarnya.

Bukan baru kali ini Ichsan membuat terobosan kebijakan yang mencengangkan dunia pendidikan, untuk mengawal program pendidikan wajib belajar yang telah “digratiskan” penuh di Gowa sejak 2006, Ichsan pernah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang berisiko terhadap orang tua atau wali anak yang tidak menyekolahkan anaknya pada usia wajib belajar karena dapat dikenakan sanksi pidana, menyiapkan lebih 300 Polisi Khusus Pendidikan yang dilengkapi berbagai fasilitas untuk membantu sekolah. Dia juga membuat Perda yang bisa memidana guru, kepala sekolah dan komite sekolah yang membebani siswa dengan berbagai pungutan, sanksi itu dilakukan melalui kerja sama Kepolisian dan Kejaksaan dan Pengadilan Negeri setempat.

Ternyata, dampaknya sangat positif dan dirasakan masyarakat, tidak ada lagi wajib belajar yang nganggur, guru dan kepala sekolah tak ada yang berani lagi berbisnis di tengah kepentingan pendidikan karena sudah terbukti menelan korban dikalangan guru yang melanggar. Kalau yang melakukan itu guru, diberhentikan mengajar, dan kalau ketua komite sekolah diberhentikan dari jabatannya. Semua kepala sekolah dan ketua komite sekolah sudah membuat pernyataan untuk menjamin tidak ada lagi pungutan sekecil dan dalam bentuk apapun, mereka juga siap mengundurkan diri.(*)

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.

22 − 15 =