SUNGGUMINASA—- Bupati Gowa, H Ichsan Yasin Limpo meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kembali pelaksanaan Ujian Nasional (UN) karena dianggap tidak kreatif dan kurikulumnya hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Permintaan bupati tersebut disampaikan melalui surat yang dikirim kepada Mendikbud, sebagai bentuk keprihatinan dan tanggung jawabnya pada bidang pendidikan di Kabupaten Gowa. Ichsan juga memberikan beberapa masukan kepada Menteri untuk dijadikan bahan pertimbangan.

“UN yang selama ini menjadi evaluasi dan penyelenggaraan tolak ukur pendidikan di Indonesia adalah paradigma lama, bukan menjadi solusi yang tepat bahkan menjadi stres nasional setiap tahunnya. Kinerja Kepala Sekolah diukur dari banyak tidaknya siswanya yang lulus dalam UN sehingga Kepala Sekolah dan guru berupaya untuk mencari jalan bagaimana dapat meluluskan siswanya sebanyak mungkin. Kondisi ini membangun karakter ketidakjujuran bagi tenaga pendidik kita, dan bagi para siswa juga berupaya dengan cara logis dan tidak logis bahkan sampai mendatangi paranormal agar dapat lulus UN,” ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemkab Gowa, Arifuddin Saeni kepada wartawan, Minggu (27/10), menjelaskan isi surat bupati yang dikirim ke Mendikbud RI di Jakarta, sejak Selasa (22/10).

Terpuruk

Menurut Ichsan, kondisi pendidikan dalam negeri semakin memprihatinkan, berdasarkan hasil Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization terhadap kualitas pendidikan negara-negara berkembang di Asia Pasific, Indonesia terpuruk, menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas guru berada pada level 14 dari 14 negara berkembang, bahkan dibawah Vietnam yang baru merdeka, ini merupakan kesalahan negara yang tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan.

Salah satu faktor semakin rendahnya kualitas pendidikan di dalam negeri disebabkan guru masih lemah dalam menggali potensi anak. Tidak bisa dipungkiri pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki oleh siswanya. “Pendidikan yang baik harus memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif sehingga mereka nyaman dalam menuntut ilmu,” kata Ichsan.

Evaluasi sendiri menurut Undang-Undang 20 Tahun 2003 dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak yang berkepentingan. Hal ini kemudian tidak sejalan dengan Peraturan Perundang-Undangan tentang Ujian Nasional yang intinya kemudian sebagai penilai pencapaian komptensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana penilaian dan evaluasi tidak lagi berkesinambungan, karena Ujian Nasional menentukan hasil evaluasi siswa sekolah dengan perbandingan 60:40.

Ichsan menganggap ironis jika UN dijadikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan, sebab penyelenggaraan pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif dan psikomotor yang bertujuan membentuk manusia berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas dan kreatif yang kesemuanya tidak dapat dilihat dari penyelenggaraan UN saja. “Dengan kata lain, UN tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai pertanggung jawaban pelaksanaan pendidikan bagi anak bangsa di negara ini,” jelasnya.

Sangat tidak adil bagi siswa jika UN yang menjadi penentu kelulusan, UN tidak berpihak kepada siswa secara keseluruhan disebabkan hasil berupa lulus dan tidak lulus hanya akan mengorbankan siswa melangkah ke jenjang pendidikan. Sangat tidak signifikan hasil pembelajaran mereka selama tiga tahun hanya ditentukan dalam waktu tiga hari. Maka yang tepat melakukan evaluasi adalah pendidik itu sendiri, karena yang mengenal secara langsung murid adalah gurunya sendiri.

Ichsan yang baru kembali dari Eropa dan melihat langsung proses pendidikan di negeri ‘Kincir Angin’ itu, mendapatkan contoh bahwa di negara tersebut UN dilaksanakan oleh badan independen, dimana badan tersebut hanya memberikan pertimbangan kepada orang tua bersangkutan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau akademi kejuruan sebagai bahan keterampilan.

Bupati dua periode ini mulanya berharap bisa ikut menjadi peserta Konvensi Ujian Nasional di Jakarta, 26 September lalu untuk memberikan sumbang saran, namun ternyata yang diundang hanyalah lembaga atau badan yang menyetujui pelaksanaan UN. Ichsan berharap agar Mendikbud dapat meninjau kembali bahkan menghapus pelaksanaan UN di Republik Indonesia. UN di tahun depan hanya untuk mengukur tingkat kualitas pendidikan di suatu wilayah atau negara tidak lagi sebagai penentu lulus tidaknya pelajar kita, tandasnya. (*).

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.

2 × = 8