*Pemkab, DPRD dan Batesalapang Tak Akui Pelantikan Maddusila

GOWA—–Suara penolakan atas upaya Andi Maddusila Andi Idjo menjadi Raja Gowa ke 37 makin meluas. Usai melantik dirinya sebagai raja di Hotel Horison, Minggu (29/5) kemarin, Pemerintah Kabupaten Gowa dan Dewan Hadat Batesalapang Ri Gowa menyatakan dengan tegas tak mengakui pelantikan tersebut.

Enam orang dari sembilan anggota Batesalapang, Senin (30/5), berkumpul dan memberikan keterangan pers bersama dengan Pemkab Gowa yang dihadiri Wakil Bupati Gowa, Abd Rauf Malaganni dan Sekda Gowa, Mukhlis Masse, serta DPRD Gowa yang diwakili Wakil Ketua DPRD, Sahir Dg Pasang.

Dalam keterangannya, Dewan Hadat Batesalapang Ri Gowa, menyebut Maddusila telah melanggar adat dan istiadat di Kabupaten Gowa. Anggota Batesalapang, Mallawangang Dg Bella, menuturkan mekanisme pelantikan seorang raja atau Somba Ri Gowa sama sekali tidak tergambarkan pada pelantikan Maddusila.

“Proses pelantikan Maddusila tidak benar. Anehnya, ia malah sudah dua kali melantik dirinya dengan Batesalapang berbeda. Zaman dulu memang ada somba yang dua kali dilantik karena kedudukannya diturunkan oleh Batesalapang karena ada perbuatannya yang salah. Setelah ia memperbaikinya, kemudian dilakukan pelantikan lagi oleh Batesalapang yang sama,” ucapnya.

Pemilihan Somba Ri Gowa, lanjutnya, juga sangat jelas prosesnya saat raja mangkat dan tidak ada putra mahkota yang disiapkan. “Prosesnya, Dewan Hadat Batesalapang berhak melakukan pemilihan. Sebaiknya, para keturunan membuka lontara atau pesan-pesan raja sebelumnya,” pesannya.

Jika alasan pelestarian, sebaiknya, kata Kr Bella (sapaan akrab Mallawangang) se-izin pemerintah selaku penerima mandat kekuasaan saat penyatuan NKRI. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Hadat Batesalapang Ri Gowa, Abd Razak Tate Dg Jarung.

“Kami hanya mengikuti pelantikan ini secara tidak langsung. Karena tidak ada penyampaian yang jelas. Kami hanya tau melalui pemberitaan. Padahal jika berdasarkan mekanisme, Somba Ri Gowa harus dilantik oleh Batesalapang,” ucapnya.

Batesalapang lainnya, JA Paramma Dg Jaga, memuturkan pembentukan kelompok adat di NKRI memang ada payung hukumnya. Namun jelas disebutkan bahwa bersinergi dengan pemerintah. “Kami dari Batesalapang jelas sangat menolak pelantikan Maddusila sebagai raja. Jika dikatakan sudah dilantik di Balla Lompoa, itu sama dengan menjatuhkan dirinya. Masa seorang yang mau angkat dirinya sebagai Somba masuk ke Balla Lompoa tanpa izin. Tambah aneh karena kami dari Batesalapang tidak dilibatkan, padahal Somba dilantik dan melalui persetujuan Batesalapang,” jelasnya.

Apalagi, lanjut dia, Raja Gowa ke 36, Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Alauddin, sudah menyerahkan kekuasaan Kerajaan Gowa ke pemerintah. “Karena kekuasaan sudah diserahkan ke pemerintah, maka tentu pelantikan raja harus ikut direstui pemerintah sebagai pemegang amanah kekuasaan,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Gowa, Abd Rauf Malaganni, menegaskan sikap pemerintah Kabupaten Gowa tegas, yakni tidak mengakui pelantikan Raja Gowa ke 37 kemarin. “Pemerintah Kabupaten Gowa dengan tegas menyatakan menolak dan tidak mengakui pelantikan kemarin,” jelasnya.

Sekda Gowa, Mukhlis Masse, menambahkan, penolakan ini karena pelantikan Maddusila tidak sesuai yang disyaratkan selama ini di Kerajaan Gowa. Ia juga menjawab tudingan kubu Maddusila yang menyebut Balla Lompoa bukan milik pemerintah.

“Masalah Balla Lompoa yang dianggap kepemilikan pribadi, itu tidak benar. Ini jelas milik pemerintah, ada sertifikatnya,” ujar dia, sambil menunjukkan sertifikat yang dipegangnya. Menurutnya, harus dibedakan mana milik raja dan mana milik kerajaan.

“Karena sudah tidak ada lagi kerajaan maka Balla Lompoa menjadi museum. Itu jelas dilindungi oleh negara karena masuk sebagai cagar budaya,” ungkap Mukhlis. Setiap ada perbaikan di Balla Lompoa, terangnya, Pemkab Gowa lah yang memperbaiki.

Soal Ranperda Lembaga Adat Daerah (LAD) yang masih berproses, sebutnya, dimaksudkan sebagai payung hukum untuk menaungi pembinaan seluruh lembaga adat untuk berpartisipasi pada program pembangunan. “Antara lain melestarikan pusaka-pusaka kerajaan termasuk kerajaan-kerajaan kecil yang dulu dibawah Gowa. Mereka masing-masing memiliki benda pusaka dan dipelihara para pewaris. Saatnya kita menginvetarisir,” jelas Mukhlis.

Soal Balla Lompoa, sebagai cagar budaya, kata dia, seyogyanya, karena itu area publik, setiap kelompok tertentu harus mengajukan izin penggunaan Balla Lompoa. “Tentu kita akan kaji layak atau tidaknya diberikan izin. Secara kebetulan pada rencana pelantikan Maddusila kemarin, Satpol PP lebih dulu melayanhkan surat penggunaan Balla Lompoa untuk pelatihan dasar. Belakangan ada undangan yang beredar untuk pelantikan. Untuk menjaga marwah pemkab tentu akan mempertahankan izin yang dikeluarkan sebelumnya,” bebernya.

Soal tujuan pelantikan Maddusila yang diumbar untuk melestarikan budaya, kata Mukhlis, seharusnya sesuatu yang baik berawal dari yang baik dan prosedural yang baik.

Wakil Ketua DPRD Gowa, Sahir Dg Pasang, juga menyatakan menolak pelantikan Maddusila. “Soal pelantikan, setahu saya nanti sah kalau ada Batesalapang dan dilaksanakan di depan umum. Bukan sembunyi-sembunyi,” ujarnya.

Apa yang dilakukan Maddusila, lanjutnya, juga malah mempersulit pembenahan lembaga adat. “Ranperda LAD saat ini memang sedang berproses, masih pengkajian, poin-poinnya masih bisa berubah. Sayangnya, sementara dilakukan kajian ada lagi pelantikan. Tentu akan mempengaruhi kinerja kami,” tegasnya. (*)

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.

69 − 62 =