Tradisi Ritual Adat Accera’ Kalompoang
SUNGGUMINASA—–Besok, Jum’at (26/10) bertepatan dengan Peringatan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1433 H akan dilaksanakan tradisi ritual Accera’ Kalompoang. Tradisi kerajaan yang berlangsung secara rutin dan turun temurun ini dilaksanakan oleh keluarga Kerajaan Gowa bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gowa usai shalat Idul Adha di Museum Istana Balla Lompoa.
Accera’ Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya.
Upacara ini merupakan salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Prosesinya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam.
Benda-benda kerajaan yang dibersihkan diantaranya: tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan kancing emas (kancing gaukang).
Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI, tiga tombak emas, parang panjang (berang manurung), penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M, dan medali emas pemberian Belanda.
Yang menarik dari pelaksanaan upacara Accera’ Kalompoang adalah pada saat penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki dengan menambah atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat penimbangan dilakukan dalam ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah, terkadang berkurang dan terkadang pula lebih.
Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban. Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika, mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap saja tidak sanggup.
Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat sulit untuk dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka senantiasa mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera’ Kalompoang yang mereka anggap sakral ini.
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.(*)